Society

All about society

Lebaran: Waktunya Reset, Recharge, dan Jadi Lebih Baik!

Ini adalah momen spesial yang penuh vibes kebahagiaan, dimana kita bersyukur karena bisa melewati Ramadhan dengan baik.

Momen Idul Fitri (Lebaran)

Idul Fitri jadi momen buat kita refresh hati dan bersyukur. Setelah sebulan menahan lapar, haus, dan segala godaan duniawi, kita balik lagi ke fitrah—jiwa yang lebih bersih. Takbir berkumandang di mana-mana, membuat kita sadar bahwa semua ini adalah berkah dari-Nya. Tradisi saling memaafkan juga jadi bagian penting dari Lebaran, biar kita bisa mulai lembaran baru tanpa beban.

Selain jadi hari kemenangan setelah berpuasa, lebaran juga identik dengan kumpul keluarga dan silaturahmi. Banyak yang rela macet-macetan untuk mudik, ketemu orang tua, saudara, dan teman lama. Ini juga jadi waktu pas buat berbagi kebahagiaan, entah lewat THR, makanan, atau sekadar obrolan hangat yang bikin kangen terobati.

Momentum Upgrade Diri

Tapi Lebaran bukan sekadar euforia sesaat. Ini juga jadi momen buat upgrade diri. Setelah sebulan belajar sabar, disiplin, dan peduli sama sekitar, kita bisa bawa kebiasaan baik ini ke kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang mulai mikirin gimana bisa jadi versi terbaik dari diri mereka setelah Ramadhan. Intinya, Lebaran itu bukan akhir, tapi titik awal buat jadi lebih baik.

Jadi, Lebaran bukan cuma soal opor ayam dan ketupat, tapi juga tentang refleksi diri. Apa aja yang udah kita dapat dari Ramadhan? Gimana kita bisa terus jadi pribadi yang lebih baik sampai ketemu Ramadhan berikutnya? Yuk, jadikan Idul Fitri ini sebagai start fresh buat hidup yang lebih bermakna.

Terimakasih telah membaca!

Lebaran: Waktunya Reset, Recharge, dan Jadi Lebih Baik! Read More »

Repetisi: 5 Rahasia untuk Belajar Lebih Cerdas

Contohnya sederhana, membereskan tempat tidur setelah bangun, menggosok gigi, atau membuat to-do list setiap pagi. Bahkan, kegiatan lainnya yang dilakukan dengan cara dan kemampuan yang sama setiap hari pun masuk kategori repetisi.

Nggak heran kalau banyak yang merasa bosan. Tapi, repetisi itu nggak selalu buruk. Di situasi tertentu, justru hal ini punya manfaat besar, terutama kalau kamu lagi belajar sesuatu yang baru.

Skill baru, pengetahuan baru, bahkan kebiasaan baru nggak mungkin tercipta tanpa pengulangan. Yuk, intip 5 manfaat repetisi yang bisa bantu kamu makin jago belajar!

Manfaat Repetisi dalam Belajar Hal Baru

source: pexels.com

1. Bikin Otak Lebih Mudah Mengingat

Repetisi itu ibarat shortcut untuk daya ingat. Dengan terus mengulang informasi, otak kita membangun koneksi saraf yang makin kuat. Makanya, semakin sering kamu mengulang sesuatu, semakin mudah hal itu melekat di ingatan.

Pernah dengar ungkapan “repetition is the mother of retention”? Ini berarti semakin sering bertemu informasi yang sama, otak kita makin mudah mengingatnya.

2. Tingkatkan Kemampuan Sampai Level Jago

Pengen mahir di suatu bidang? Repetisi adalah kuncinya. Latihan berulang-ulang nggak cuma bikin pemahaman makin kuat, tapi juga jadi pondasi buat belajar hal-hal baru. Dengan terus mencoba, makin dekat dengan level “pro”.

3. Bikin Proses Jadi Lancar, Tanpa Beban

Kalau kita lagi belajar bahasa, repetisi adalah cara terbaik untuk memperlancar belajar dan percaya diri. Contohnya, dengan terus latihan bicara atau menulis, kita jadi makin terbiasa, bahkan nggak perlu berpikir keras ketika mempraktikkannya.

Lama-lama, kesalahan yang dilakukan bakal berkurang, dan proses belajar terasa lebih natural. Nggak ribet, kan?

4. Bangun Kebiasaan Belajar yang Konsisten

Repetisi juga bantu menciptakan rutinitas belajar yang teratur. Misalnya, kita selalu belajar di waktu yang sama setiap hari. Kebiasaan ini bikin kamu lebih disiplin dan fokus.

Seiring waktu, pola belajar yang konsisten ini jadi fondasi buat menciptakan motivasi dan keterlibatan yang lebih besar dalam proses belajarmu.

5. Bikin Lebih Percaya Diri

Melihat progres dari hasil repetisi itu rasanya memuaskan banget. Tiap langkah kecil yang kamu capai adalah bukti nyata dari usahamu.

Rasa puas ini jadi motivasi ekstra buat terus belajar. Bonusnya? Kamu melatih pola pikir yang lebih fokus ke pencapaian jangka panjang, yang bikin kepercayaan dirimu makin meningkat.

Kesimpulan

Repetisi memang kadang bikin bosan, tapi hasilnya luar biasa. Dengan pengulangan yang konsisten, kamu bisa lebih mudah mengingat, menguasai keterampilan, dan menciptakan kebiasaan positif. Plus, progres yang kamu lihat bakal bikin kamu lebih percaya diri dan semangat buat terus berkembang.

Jadi, jangan ragu buat terus mengulang! Karena di setiap repetisi, ada peluang buat jadi versi terbaik dari dirimu.

Repetisi: 5 Rahasia untuk Belajar Lebih Cerdas Read More »

Friday Sharing: Perspektif tentang Repetisi dan Iterasi

Repetisi dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan secara berulang dengan cara yang sama. Tanpa disadari, banyak dari kita telah melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah rutinitas seperti bangun pagi, menggosok gigi, sarapan, lalu melanjutkan aktivitas harian.

Kegiatan repetisi cenderung mendorong kita untuk melakukan berbagai hal dengan pola yang serupa. Misalnya, menggosok gigi dilakukan dengan gerakan dari atas ke bawah, berkendara melibatkan kendali setir dan pedal gas, serta aktivitas lain yang dilakukan dengan cara yang tetap.

Repetisi membantu menciptakan kebiasaan, tetapi sering kali tidak memunculkan inovasi atau perubahan signifikan.

Berbeda dengan repetisi, iterasi mengacu pada pengulangan proses yang berfokus pada perbaikan dan inovasi. Iterasi melibatkan evaluasi terhadap langkah sebelumnya untuk menemukan cara yang lebih baik, efisien, atau efektif.

Iterasi menuntut kita untuk mengembangkan pola pikir reflektif dan adaptif. Alih-alih hanya mengulangi pola yang sama, iterasi bertujuan memperbaiki proses pengulangan agar hasil yang diperoleh menjadi lebih optimal.

source: pexels.com

Repetisi berfokus pada konsistensi dalam melakukan tugas yang sama secara berulang. Cara ini sangat membantu dalam membangun keterampilan dasar pada suatu aktivitas. Sebagai contoh, saat seseorang belajar bermain drum untuk pertama kali, ia perlu mengulang gerakan memukul drum dengan stik secara terus-menerus.

Dalam konteks belajar, repetisi sangat bermanfaat untuk membangun konsistensi. Contohnya, belajar setiap pukul 7 pagi dan mengulanginya lagi pada pukul 7 malam menciptakan rutinitas yang mendukung disiplin dan keberlanjutan. Konsistensi ini adalah hasil positif dari proses pengulangan yang dilakukan secara terus-menerus.

Namun, meskipun memiliki banyak manfaat, repetisi juga seperti pisau bermata dua. Terlalu banyak melakukan repetisi dengan cara yang sama dapat menyebabkan stagnasi dalam proses perkembangan.

Stagnasi ini terjadi karena pengulangan yang terus dilakukan tanpa perubahan metode atau hasil. Akibatnya, kemajuan menjadi terhambat karena kurangnya tantangan atau rangsangan baru. Hal ini pada akhirnya dapat memperlambat pembentukan dan pertumbuhan neuron di otak, yang berdampak negatif pada kemampuan untuk terus belajar dan berkembang.

created by bing image creator
prompt: Animation of a woman studying in a very cozy coffee shop.

Berbeda dengan repetisi yang mengulang hal yang sama tanpa perubahan, iterasi adalah proses pengulangan yang bertujuan untuk membuat sesuatu lebih baik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), iterasi berarti perulangan. Namun, iterasi tidak hanya mengulang, tetapi juga memperbaiki proses di setiap siklusnya.

Contohnya, seorang siswa yang belajar setiap pukul 7 pagi dengan metode yang sama, yaitu guru menjelaskan materi setiap hari, lama-lama akan merasa bosan. Dengan iterasi, cara belajar ini bisa diubah. Siswa bisa memulai dengan mempresentasikan materi terlebih dahulu, kemudian berdiskusi dengan teman-temannya, dan di akhir sesi guru memberikan penjelasan tambahan. Metode ini membuat pembelajaran lebih menarik dan interaktif.

Iterasi juga digunakan di dunia bisnis, seperti yang dilakukan Elon Musk. Musk menerapkan first principle thinking untuk memperbaiki proses produksi baterai. Alih-alih mengikuti cara lama, ia memecah baterai menjadi komponen dasar dan menemukan cara lebih murah untuk memproduksinya tanpa mengurangi kualitas.

Iterasi membantu kita memperbaiki kesalahan, menyederhanakan proses, dan bekerja lebih efisien. Dengan cara ini, kita bisa menghasilkan solusi yang lebih baik dan inovatif, baik dalam belajar, bekerja, maupun kehidupan sehari-hari.

Iterasi Lebih Penting Dari Repetisi?

Repetisi dan iterasi keduanya sangat penting dalam setiap proses. Repetisi membantu membangun keterampilan dasar yang kuat, sementara iterasi diperlukan untuk mengembangkan keterampilan tersebut agar menjadi lebih baik.

Dalam proses pembelajaran, repetisi sangat diperlukan untuk menguasai hal-hal baru, mulai dari dasar hingga tingkat mahir. Dengan repetisi, kita memperkuat pemahaman dan keterampilan dasar. Setelah itu, iterasi memungkinkan kita untuk menciptakan solusi baru, mengasah keterampilan lebih lanjut, dan menyederhanakan proses agar lebih efektif.

Namun, dalam jangka panjang, iterasi menjadi lebih penting daripada repetisi. Meskipun repetisi tetap dibutuhkan untuk memperkuat dasar-dasar, iterasi diperlukan untuk mendorong kemajuan dan inovasi. Oleh karena itu, penting untuk menemukan keseimbangan antara repetisi dan iterasi.

Terimakasih telah membaca.

Friday Sharing: Perspektif tentang Repetisi dan Iterasi Read More »

Menguak Ketidaksukaan Belajar: Ketika Textbook Gagal Menginspirasi

Pentingnya belajar berkaitan erat dengan perspektif seseorang terhadap pendidikan. Banyak dari kita menganggap belajar hanya dilakukan di sekolah formal, dengan seragam sekolah, duduk di kelas, membaca buku teks, menghitung, dan mengikuti ujian.

Metode pembelajaran ini sering kali membuat banyak siswa merasa kurang menyukai belajar. Oleh karena itu, penting untuk memahami alasan di balik ketidaknyamanan ini agar kita dapat meningkatkan pengalaman pendidikan.

Sistem pendidikan sering menuntut kita untuk menentukan jawaban benar di antara pilihan salah saat ujian. Hasil ujian kemudian diukur dengan angka pasti, seolah merepresentasikan kebenaran yang kita sampaikan. Angka ini sering dikagumi, diperjuangkan, bahkan dipuja-puja. 

Namun, hasil non-angka sering diabaikan. Seolah-olah, angka ini merepresentasikan seberapa malas atau rajin kita belajar. Padahal, hasil ujian tidak dapat merepresentasikan semangat belajar seseorang.

Misalnya, seseorang yang tidak menyukai matematika cenderung mendapatkan nilai rendah dibandingkan mereka yang menyukainya. Begitu pula bagi mereka yang menyukai sains, peluang meraih nilai tinggi lebih besar dibandingkan yang tidak menyukai sains.

Rasa suka belajar

Dalam konteks suka atau tidak suka belajar, nilai ujian atau grade tertentu tidak dapat merepresentasikan perasaan tersebut. Rasa suka atau tidak suka didasarkan pada motivasi di balik keinginan mempelajari sesuatu.

Contohnya, saya mungkin mendapatkan nilai rendah dalam mata pelajaran sejarah karena saya tidak membutuhkannya untuk masa depan saya. Namun, saya mendapatkan nilai tinggi pada mata pelajaran matematika dan sains karena saya sangat membutuhkannya.

Pada konteks ini, saya tidak menyukai sejarah karena merasa hanya menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak saya butuhkan. Sebaliknya, saya akan meluangkan banyak waktu untuk sesuatu yang saya butuhkan, seperti matematika dan sains.

Saya akan merasa malas belajar sejarah karena tidak relevan untuk masa depan saya. Sebaliknya, saya akan bersemangat belajar matematika dan sains karena sangat penting bagi masa depan saya.

Rasa malas belajar

Sebagian siswa memilih bekerja untuk mendapatkan uang. Mereka tergoda oleh nominal pada kertas bernilai uang, tetapi tidak tertarik pada kertas berisi teks panjang.

Ironi selanjutnya adalah rendahnya minat baca masyarakat Indonesia yang hanya sebesar 0,001 persen. Artinya, hanya ada 1 orang yang membaca teks panjang di antara 1000 orang. Ini mengenaskan mengingat teks panjang adalah sumber ilmu dan informasi yang lebih komprehensif.

Saya berpikir hal ini disebabkan oleh metode ajar di sekolah zaman dahulu yang mengedepankan textbook sebagai bahan ajar utama. Meskipun metode ini tidak salah, seharusnya bisa dikombinasikan dengan metode lain.

Bagi saya, belajar dari textbook terasa hambar tanpa interaksi langsung dengan materi ajar. Meski textbook merupakan sumber terpercaya untuk informasi, pengalaman belajar akan lebih hidup dengan metode lain yang lebih interaktif.

Textbook memang merupakan sumber utama belajar, namun sulit untuk menularkan inspirasi kepada pembacanya tanpa adanya pengalaman yang lebih dari sekadar membaca buku.

created by bing image creator
prompt: Animation of a woman studying in a very cozy coffee shop.

Sudut pandang tentang belajar

Sudut pandang setiap orang terhadap belajar sangat beragam. Ada yang memandangnya sebagai kebutuhan, sebagai bersenang-senang, atau bahkan sesuatu yang sangat menyulitkan hidup.

Belajar sebagai kebutuhan

Bagi sebagian orang, belajar adalah kebutuhan untuk mencapai tujuan atau cita-cita. Tujuan ini bukan hanya produk akhir yang didapatkan, tetapi juga hasil dari proses belajar itu sendiri.

Sebagai contoh, saya belajar coding untuk mengasah logical thinking. Output yang saya harapkan adalah kemampuan berpikir logis yang tajam karena saya lihai membuat kode.

Saya belajar coding bukan untuk menjadi seorang programmer, tetapi untuk mendapatkan manfaat dari proses belajarnya. Terkadang, kita sering lupa menghargai hasil dari proses belajar itu sendiri.

Kebanyakan dari kita selalu melihat tujuan akhir atau output sebagai produk jadi. Padahal, produk akhir dihasilkan dari proses yang membutuhkan lebih dari sekadar ilmu.

Contoh lainnya, jika seseorang ingin menjadi programmer, ia perlu belajar coding dan memiliki logical thinking yang tajam. Logical thinking yang tajam tidak hanya berguna untuk membuat kode, tetapi juga dapat diterapkan dalam berbagai bidang.

Logical thinking adalah hasil dari proses belajar coding. Kemampuan membuat kode yang baik adalah hasil dari logical thinking yang tajam. Banyak dari kita mengeluh saat menjalani prosesnya, padahal hasil dari proses itulah yang sebenarnya kita butuhkan.

Belajar sebagai proses

    Mereka yang memandang bahwa belajar adalah proses biasanya tidak berorientasi pada hasil akhir. Mereka menikmati proses belajar sebagai kebutuhan untuk mencapai tujuan akhir.

    Jika dianalogikan, kita perlu menikmati proses mengendarai mobil untuk sampai ke kota tujuan. Dalam proses belajar, kita mendapatkan pengalaman untuk menjadi lebih profesional dalam bidang yang kita pelajari.

    Belajar sebagai proses merupakan dinamika untuk mendapatkan keterampilan baru, pengalaman baru, dan sudut pandang baru terhadap suatu ilmu. Ada hikmah di balik proses yang kita lalui ketika belajar.

    Proses belajar membantu kita menstimulasi adaptabilitas, rasa ingin tahu, dan kemampuan pemecahan masalah. Belajar membuat kita lebih fleksibel terhadap perubahan.

    Seolah otak kita sudah tersetting untuk menangkap informasi secara cepat. Kognitif kita yang semula menganut “slow living” berubah menjadi “ambisius”. Fungsi kognitif kita akan selalu berjalan karena proses belajar yang banyak dilalui.

    Selain itu, belajar mampu menumbuhkan kreativitas. Kreativitas muncul ketika kita dihadapkan dengan tantangan rumit yang membutuhkan pemecahan masalah kompleks.

    Kreativitas yang tumbuh menjadi bahan bakar bagi kita untuk menjadi pembelajar seumur hidup. Seperti halnya hidup, lifelong learning adalah petualangan untuk mengeksplorasi dunia lebih jauh, luas, dan lebih dalam.

    Belajar sebagai lingkungan pendukung

      Belajar tidak hanya terbatas pada kelas formal yang disediakan oleh pemerintah atau swasta. Proses belajar dapat dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk memperdalam hobi yang kita minati.

      Dengan definisi yang lebih luas ini, individu dapat menyadari bahwa belajar adalah bagian alami dari kehidupan dan tidak terbatas pada sekolah.

      Pengakuan ini membantu menghilangkan stigma bahwa belajar adalah aktivitas yang membosankan atau mengintimidasi. Sebaliknya, ini mendorong setiap orang untuk melihat setiap momen sebagai kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru.

      Hal ini juga memperluas wawasan bahwa setiap pengalaman hidup dapat menjadi sumber belajar yang berharga. Pengalaman ini memperkaya pengetahuan dan membangun kemampuan yang relevan untuk berbagai aspek kehidupan.

      Sumber inspirasi belajar

      Saat ini banyak sekali sumber inspirasi belajar bagi setiap orang. Jika di sekolah kita belajar melalui bacaan textbook panjang yang diberikan, maka tidak berlaku untuk era digital saat ini. Sumber-sumber konvensional seperti textbook sudah sulit untuk membuat seseorang “suka” belajar.

      Ada beberapa sumber non-konvensional yang justru banyak diminati oleh orang-orang saat ini. Berikut adalah beberapa sumber inspirasi untuk belajar ketika textbook sudah tidak lagi menginspirasi.

      Podcast and audiobooks

        Mendengarkan ahli, pendongeng, dan para penggemar berbagi pengetahuan mereka melalui podcast dan buku audio menjadi salah satu cara populer untuk belajar. Podcast menyajikan berbagai topik seperti teknologi, seni, sains, cerita, bahkan self improvement yang dipaparkan oleh para ahli.

        Ahli di bidangnya membagikan wawasan mendalam dan analisis tajam yang sulit ditemukan di sumber lain. Sementara pendongeng dan penggemar menghadirkan cerita-cerita menarik yang tidak hanya menghibur tetapi juga mengedukasi. 

        Podcast juga sering menghadirkan diskusi dan wawancara dengan berbagai narasumber. Mereka memberikan perspektif beragam yang memperkaya pemahaman pendengar.

        Tak jarang, podcast terkenal menghadirkan role model yang populer sehingga mampu memberikan inspirasi lebih kepada para pendengarnya. Hal ini dapat memperkuat exposure untuk meraih keberhasilan menjadi lebih besar.

        Saat ini, podcast dapat diakses dengan mudah hanya bermodalkan ponsel dan koneksi internet. Hal ini membuka peluang belajar yang tak terbatas, membantu setiap individu mencari inspirasi keterampilan baru, memperluas wawasan, dan tetap up-to-date dengan perkembangan terkini di berbagai bidang.

        TED Talks dan online course

          TED Talks adalah sumber inspirasi bagi siapa saja yang ingin termotivasi untuk belajar. Setiap sesi TED Talks menampilkan pembicara-pembicara penuh gairah yang membahas berbagai topik, mulai dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, hingga isu-isu sosial. 

          Dengan durasi yang singkat namun mendalam, TED Talks dapat memunculkan ide-ide baru dan perspektif yang segar. Pembicara yang dihadirkan adalah para ahli dibidangnya yang bercerita mengenai pengalaman dan pengetahuan mereka.

          Melalui TED Talks, setiap orang dapat menemukan sudut pandang baru yang dapat mengubah cara mereka memandang dunia dan mendorong semangat belajar yang terus menyala.

          Selain dari TED Talks, sesi webinar daring juga dapat menginspirasi seseorang agar mau belajar. Webinar memberikan kita akses belajar dari para pakar industri maupun akademisi berpengalaman.

          Keunggulan webinar daring adalah para audiens dapat berinteraksi secara langsung bahkan face to face dengan pembicara. Hal ini membuka peluang luas untuk bertanya segala hal yang berkaitan dengan background ilmu dari pembicara.

          Kedua media inspirasi ini jika kita gabungkan akan menjadi sebuah strategi yang kuat untuk memacu diri belajar lebih semangat. Saya pribadi lebih suka mencari inspirasi dari TED Talks karena dapat diakses kapanpun dan di manapun.

          Terlebih, tokoh yang dihadirkan sangat bervariasi dari berbagai latar belakang, negara, maupun industri. Mereka memiliki perspektif yang out of the box namun sangat relate dengan keadaan dunia saat ini.

          Percakapan dan networking

            Berpartisipasi dalam diskusi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang adalah sumber inspirasi yang menarik untuk belajar. Setiap individu memiliki pengetahuan dan pengalaman unik yang bisa mereka bagikan. 

            Perspektif mereka yang berbeda-beda membuat kita berpikir dan memperdalam mengenai apa yang mereka diskusikan. Perspektif baru ini bisa saja membuat kalian merasa tertarik untuk mendalami suatu hal.

            Percakapan ini dapat berlangsung secara daring ataupun melalui community tertentu. Begitupun dengan menghadiri sebuah workshop, meetup, atau forum menjadi media inspirasi bagi kita untuk diskusi suatu hal.

            Keterlibatan kita dalam suatu community memberikan dukungan sosial untuk terus mengembangkan diri. Melalui kolaborasi dan berbagi pengetahuan, kita dapat membangun jaringan yang bermanfaat bagi perkembangan pribadi dan profesional.

            Media percakapan dan networking mungkin sudah terdengar umum bagi sebagian orang. Namun, kedua media inilah yang cukup efektif untuk menumbuhkan curiosity kita untuk memperdalam suatu wawasan.

            Melalui interaksi ini, kita tidak hanya memperkaya pengetahuan tetapi juga membangun hubungan yang dapat membuka jalan menuju peluang baru. Belajar menjadi proses yang dinamis dan menyenangkan, didorong oleh inspirasi yang kita temukan dalam setiap percakapan dan koneksi yang kita bangun.

            Closing

            Belajar bukanlah hal menakutkan seperti apa yang kita bayangkan. Belajar merupakan sebuah petualangan hidup yang tiada henti. Kita mungkin akan berhenti belajar di sekolah formal, namun tidak dalam kehidupan.

            Setiap langkah kaki kita pasti mengajarkan kita pelajaran. Baik secara langsung maupun tidak langsung, secara sadar maupun tidak sadar. Kurang etis rasanya jika kita mengatakan tidak ingin lagi belajar.

            Pada hakikatnya belajar bukan hanya duduk, menghitung, dan ujian. Itu hanya terjadi pada institusi formal dan informal yang memang dirancang menguji seseorang. Berbeda halnya dengan belajar sesungguhnya dalam kehidupan kita.

            Suka atau tidak suka kita pasti akan belajar. Mau atau tidak mau kita pasti akan belajar. Butuh atau tidak butuh kita pasti akan belajar.

            Mungkin sumber inspirasi kita untuk belajar bukan dari sebuah textbook panjang lagi. Media digital yang menunjang interaksi lebih banyak akan cenderung lebih menginspirasi kita. Terlebih, media tersebut sudah tertanam dalam batin kita ketika butuh inspirasi belajar.

            Apa opini kalian mengenai belajar? Apakah kemauan belajar didasari atas suka-tidak atau butuh-tidak butuh? Lalu, dari mana inspirasi belajar kalian dan siapa role model yang sangat menginspirasi kalian untuk terus belajar?

            Let me know guys…

            Thanks….

            References

            Menguak Ketidaksukaan Belajar: Ketika Textbook Gagal Menginspirasi Read More »

            Gen Z Ketika Bulan Ramadhan

            Bulan Ramadhan menjadi momen yang selalu ditunggu-tunggu oleh seluruh umat muslim di dunia. Pada momen ini, bukan hanya puasa, tarawih, dan sahur yang ditunggu-tunggu, namun momen ketika berburu takjil menjadi salah satu yang selalu ramai dilakukan.

            Tak jarang dari kita yang selalu mengabadikan momen ramadhan setiap hari. Momen-momen tersebut menjadi konten kreatif yang menarik perhatian para penghuni dunia maya. Gen Z yang notabene adalah generasi “digital” sudah pasti tak lepas dari konsumsi konten tersebut.

            Kreativitas Gen Z ketika bulan ramadhan seakan meningkat dengan sangat pesat. Berbagai konten kreatif mulai dari genre edukasi, entertainment, bahkan meme ketika puasa menjamur di media sosial.

            Gen Z secara cekatan menangkap peluang untuk memproduksi konten dengan ide segar. Mereka lebih banyak mengeksplorasi media sosial secara mendalam dari berbagai platform yang ada.

            Tak jarang konten yang mereka buat menjadi viral dan diikuti oleh banyak masyarakat yang menyaksikan konten tersebut. Seolah para Gen Z lah yang menciptakan tren konten baru di media sosial untuk diikuti khalayak ramai.

            Seperti apa sih konten yang banyak dibuat oleh Gen Z ketika Ramadhan ? Yuk kita ulas di artikel ini!

            Konten Edukasi

            Banyak Gen Z saat ini dengan mudah memproduksi konten edukatif seputar ramadhan. Contohnya, mereka membuat video tentang tafsir Al-Quran yang “relate” dengan audiens mereka.

            Adapun mereka memproduksi podcast yang mendiskusikan seputar ibadah di bulan ramadhan. Konten ini cukup banyak diminati karena formatnya yang bertajuk talk show atau monolog dalam bentuk audio atau video-audio.

            Konten edukasi seperti ini tentunya memotivasi banyak audiens agar lebih aware menjalani ibadah di bulan ramadhan. Secara tidak langsung, konten seperti ini dapat mendatangkan pahala jariyah bagi yang memproduksinya jika diamalkan oleh para audiens.

            Konten Entertainment

            Hampir semua pengguna media sosial pasti sudah pernah mengonsumsi tipe konten seperti ini. Konten entertainment menjadi andalan sebagai media “penghibur diri” dari suntuknya dunia nyata.

            Banyak dari Gen Z maupun yang lainnya yang memproduksi konten entertainment seperti ini. Contoh yang paling banyak adalah parodi lagu populer dengan lirik tentang ramadhan. Konten vlog buka puasa tak kalah ramainya ketika banyak orang mencari referensi lokasi berbuka puasa.

            Bahkan, konten komedi ketika momen sahur pun ramai bertebaran di media sosial. Gen Z dapat dikatakan menjadi lebih kreatif saat momen ramadhan tiba. Banyak sekali ide segar dan referensi yang luas di era yang serba digital saat ini.

            Konten Kolaborasi

            Konten seperti umumnya dalam format video podcast. Konten kolaborasi cukup ramai diminati oleh para audiens dunia maya. Tipikal konten seperti ini menyajikan format diskusi dua arah yang santai namun tetap asik.

            Tema yang umum didiskusikan adalah sharing pengalaman ramadhan tahun-tahun sebelumnya. Keseruan cerita-cerita ramadhan ketika masa kanak-kanak menjadi sebuah momen yang tidak mungkin terlupa.

            Keseruan menyimak dua orang atau lebih berdiskusi menjadi suatu keasyikan tersendiri. Terlebih jika yang didiskusikan adalah momen nostalgia ramadhan masa kecil. Para audiens akan menjadi lebih tertarik dan menjadi relate dengan diri mereka sendiri

            Ramadhan Bagi Gue

            source: pexels.com

            Ramadhan adalah momen berharga yang terjadi setiap satu tahun sekali. Seluruh umat muslim sudah pasti menantikan momen berharga ini. Momen di mana pahala ibadah menjadi berkali-kali lipat.

            Bagi sebagian orang, ramadhan menjadi momen yang paling ditunggu untuk bersuka cita. Menjalankan puasa dari pagi hingga petang dengan niat ibadah. Yang pada akhirnya, kita dihadiahkan hari kemenangan di penghujung ramadhan.

            Ramadhan menjadi momen berlimpah bagi para pedagang makanan. Setiap sore, dagangan mereka tinggal tersisa label “takjil” dan daftar menu jika mereka menyediakannya. Setiap kita bertanya, jawaban mereka diawali dengan kata “maaf” dan diteruskan keterangan “sudah habis.”

            Bagi sebagian kelompok, ramdhan menjadi waktu yang paling ditunggu untuk mencari rupiah tamahan. Baik melalui dagangan takjil, konten yang di monetisasi, maupun lainnya. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan kemenangan di penghujung ramadhan.

            Ramadhan selalu membawa berkah bagi mereka yang benar-benar memanfaatkannya. Sangat disayangkan, jika mereka tidak memanfaatkan momen langka ini. Momen di mana setiap insan mengumpulkan pahala, memori, rupiah, tabungan akhirat, bahkan harapan.

            Bagi gue, itulah ramadhan. Gue selaku bagian dari Gen Z, menyampaikan selamat menjalankan ibadah puasa. Terimakasih sudah membaca. See you in the next article…

            Gen Z Ketika Bulan Ramadhan Read More »

            Sisi Lain Gen-Z

            Gen Z sering diidentifikasi sebagai generasi yang sangat mengikuti perkembangan zaman. Mereka cenderung responsif terhadap tren dan inovasi yang terjadi. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa tidak semua Gen Z memiliki karakteristik yang sama. Generalisasi terhadap seluruh generasi mungkin tidak akurat tanpa mempertimbangkan klasifikasi lebih lanjut.

            Gen Z dan Ekonomi

            Satu klasifikasi yang umum digunakan adalah berdasarkan faktor ekonomi. Ada kelompok milenial yang dapat dikelompokkan dalam klasifikasi low-end, middle-end, dan high-end, masing-masing dengan karakteristik dan pengalaman yang berbeda.

            Mereka dalam kelompok low-end mungkin memiliki keterbatasan ekonomi yang membuat mereka sulit mengikuti perkembangan zaman. Di sisi lain, kelompok middle-end dan high-end mungkin lebih mampu untuk mengikuti tren karena memiliki keleluasaan ekonomi.

            Mengikuti perkembangan zaman dalam konteks ini seringkali berkaitan dengan daya beli untuk memenuhi gaya hidup tertentu. Adanya perbedaan dalam jumlah uang yang tersedia antara ketiga kelompok tersebut memainkan peran penting dalam kemampuan mereka untuk mengikuti tren.

            Banyak Gen Z menghadapi tantangan seperti sulitnya mencari pekerjaan, berkuliah sambil bekerja, atau bahkan menjadi barista untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Mereka mungkin tidak sesuai dengan stereotip yang sering melekat pada generasi mereka.

            cnbcindonesia.com

            Opsi sewa atau kontrak rumah tidak selalu menguntungkan dalam jangka panjang. Sistem sewa dan kontrak cenderung lebih menguntungkan secara jangka pendek, namun uang yang dibayarkan tidak akan menghasilkan nilai yang dapat dimiliki secara permanen.

            Contohnya, jika kita menyewa rumah seharga Rp. 5.000.000 per bulan, dibandingkan dengan mencicil rumah dengan nominal yang sama atau bahkan lebih besar, secara jangka panjang kita akan merasakan nilai yang lebih besar dengan mencicil. Sebab, melalui pembayaran cicilan, kita akan menjadi pemilik rumah tersebut pada akhirnya.

            Gen Z dan kehidupan sosial

            Terlepas dari semua itu, Gen Z menghadapi berbagai permasalahan sosial yang sering tidak terlihat. Banyak awak media yang membangun narasi bahwa Gen Z adalah generasi yang kaya, trendy, dan sejenisnya.

            Namun, realitanya, itu hanyalah pandangan yang terbatas. Sebagian besar dari mereka adalah Gen Z yang berada dalam kelompok beruntung. Maaf untuk mengatakannya, tapi gue setuju dengan pernyataan bahwa mereka adalah kelompok yang beruntung dibandingkan dengan yang lain.

            Media seringkali membentuk gambaran bahwa Gen Z adalah mereka yang selalu mengikuti tren, terus-terusan ngopi, mengalami masalah mental, terhubung erat dengan dunia teknologi, dan bahkan selalu bepergian.

            Dengan framing tersebut, otak kita menjadi terprogram ketika mendengar kata Gen Z, tergambar seperti apa. Di satu sisi, ini menciptakan bias sosial dan ketidakpahaman terhadap kelompok lain.

            Kenyataannya, Gen Z merasa tidak sehebat generasi sebelumnya. Mereka merasa tidak percaya diri untuk mencapai kesuksesan seperti generasi sebelumnya, bahkan ketakutan mereka mencakup ketidakpastian bertahan di dunia yang dianggap seperti surga dan neraka.

            Tidak hanya itu, situasi ekonomi juga memberikan dampak pada kehidupan sosial mereka. Pendapatan mereka pada rentang usia 20-24 tahun sering kali hanya sekitar 2,5 juta rupiah. Beberapa di antara mereka merasa khawatir tentang bagaimana adik mereka akan makan di rumah, apakah mereka bisa makan esok hari, atau bahkan apakah mereka mampu untuk sekolah.

            Mereka yang terdampak oleh situasi ini adalah mereka yang termasuk dalam kelompok low-end dan middle-end. Mereka memiliki daya beli yang lebih rendah, yang berdampak pada segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan sosial mereka.

            Media dewasa ini semakin gencar dalam menciptakan framing bahwa Gen Z adalah generasi yang beruntung dan lebih baik daripada generasi sebelumnya. Mereka fokus pada upaya mendapatkan perhatian dari publik berdasarkan interaksi dan traffic.

            Pendapat Gue Pribadi

            Di akhir artikel ini adalah pandangan pribadi gue, yang notabene adalah Gen Z juga. Gue setuju dengan representasi media untuk sebagian kelompok Gen Z, dan itu tercermin dalam pengalaman gue.

            Namun, gue melihat secara nyata, ada mereka yang termasuk Gen Z namun tidak seberuntung gue. Mereka memutar otak agar mendapatkan mata uang rupiah sembari mengenyam pendidikan.

            Gue berharap, kelompok yang tidak terlihat dapat turut terekspos sehingga publik menjadi lebih aware terhadap mereka. Mereka membutuhkan bantuan kita yang lebih beruntung. Mereka membutuhkan dukungan secara materi maupun non materi.

            Terimakasih sudah membaca.

            Referensi:

            Sisi Lain Gen-Z Read More »

            Kopi dan Gen Z

            Pada era ini, Gen Z dianggap sebagai penguasa jejaring internet. Media sosial bukan hanya sebuah fitur, melainkan menjadi “makanan” utama dan seperti nadi kehidupan bagi mereka. Mereka mampu menemukan segala sesuatu yang diinginkan melalui internet.

            Berbeda dengan generasi sebelumnya, yaitu millennial, Gen Z lebih mudah terpengaruh oleh tren yang berkembang di media sosial. Sebagai contoh, jenis konten media sosial, seperti format video potret singkat, menjadi favorit di kalangan mereka karena ketertarikan mereka pada presentasi visual dan audio yang cepat.

            Mereka melihat tren ini sebagai bagian dari gaya hidup modern, sebagai sesuatu yang mengikuti perkembangan zaman, dan dianggap sebagai kekinian yang perlu diikuti. Terlebih lagi, jika mereka menemukan kafe dengan desain yang instagramable, maka tempat tersebut cenderung menjadi lebih populer di kalangan mereka..

            Dari observasi dan pembahasan dengan AI, terdapat beberapa poin fokus yang menjadi perhatian Gen Z terhadap kopi.

            Estetika lokasi

            Lokasi: Filosofi Kopi Yogyakarta

            Penting bagi mereka bahwa lokasi tempat mereka menikmati kopi mampu memberikan lebih dari sekadar minuman. Mereka mencari pengalaman sosial yang hangat dan mengundang, tempat yang tidak hanya memfasilitasi konsumsi kopi, tetapi juga memungkinkan interaksi sosial yang positif di antara mereka dan teman-temannya.

            Mereka membutuhkan ruang yang cocok untuk berinteraksi, nongkrong, dan menikmati kopi sesuai dengan preferensi mereka. Oleh karena itu, kriteria desain interior dan atmosfer lokasi menjadi faktor penting dalam menarik perhatian dan memuaskan generasi ini.

            Tidak semua Gen Z hanya fokus pada estetika lokasi. Beberapa dari mereka juga menitikberatkan pada cita rasa kopi yang mereka pesan. Mereka lebih cenderung menikmati variasi kopi seperti iced coffee, manual brew, atau jenis lainnya seperti long black.

            Generasi ini memiliki selera yang bervariasi, dan mereka menikmati kopi dari jenis arabika dan robusta. Kedua jenis kopi ini memberikan pengalaman rasa yang berbeda tergantung pada metode penyeduhan kopi yang digunakan. Mereka juga tertarik pada variasi menu yang menggabungkan kopi dengan bahan minuman lainnya, seperti latte, matcha, dan sebagainya.

            Tren media sosial

            Gen Z sangat dipengaruhi oleh tren media sosial, dan mereka lebih cenderung membeli produk kopi yang populer di platform media sosial. Mereka juga lebih cenderung berbagi pengalaman minum kopi mereka di media sosial, yang dapat membantu mendorong tren dan mempengaruhi orang lain.

            Teman kreativitas

            Gen Z dikenal karena kreativitas dan inovasinya, dan mereka mencari pengalaman minum kopi yang memungkinkan mereka mengekspresikan diri. 

            Mereka lebih cenderung mengunjungi kedai kopi yang menawarkan minuman yang dapat disesuaikan dan rasa yang unik, serta tempat yang menyediakan ruang bagi mereka untuk mengerjakan proyek kreatif mereka.

            Media berekspresi

            cast: Syafiq and Arjun
            Lokasi: Filosofi Kopi Yogyakarta

            Gen Z memanfaatkan kopi sebagai medium untuk mengekspresikan diri. Mereka cenderung aktif berbagi pengalaman minum kopi di media sosial, yang dapat memacu tren dan memberikan pengaruh kepada orang lain. Lebih dari itu, mereka memiliki kecenderungan untuk membuat konten yang terkait dengan kopi, seperti fotografi, video, dan postingan blog.

            Jadi itulah tentang Kopi dan Gen Z yang kian menarik untuk dibahas. Banyak dari Gen Z, termasuk gue yang mengandalkan kopi untuk melakukan berbagai aktivitas termasuk belajar.

            Terimakasih sudah membaca.

            Kopi dan Gen Z Read More »

            Tahun Baru: Resolusi Yang Kadang Terlupakan

            Pergantian tahun menjadi momen bagi kebanyakan orang untuk membuat resolusi baru untuk satu tahun ke depan. Namun, apa sih resolusi itu? Haruskah selalu dibuat pada prosesi perayaan tahun baru? Yuk simak apa itu resolusi dan sebenarnya perlu gak sih untuk kita buat setiap tahunnya.


            Resolusi adalah istilah populer di kalangan masyarakat pada perayaan tahun baru. Resolusi ini berisi harapan seseorang yang ingin dicapai pada awal atau dalam satu tahun.

            Menurut KBBI, resolusi adalah putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang); pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal.

            Masyarakat banyak juga yang mengartikan resolusi sebagai daftar impian atau keinginan yang hendak dicapai dalam satu tahun. Ini biasanya dibuat untuk mencapai tujuan yang lebih baik dari tahun sebelumnya.

            Resolusi dibuat agar seseorang memiliki perencanaan dalam satu tahun ke depan. Baik untuk merencanakan kehidupan, studi, karir, maupun hal lainnya. Sehingga hal ini menjadi sangat melekat di setiap masyarakat.

            Penyusunan resolusi sudah menjadi budaya yang melekat di masyarakat Indonesia maupun global. Terlepas dari rencana yang diharapkan, resolusi memiliki beragam manfaat dan tujuan.

            Manfaat dan Tujuan Resolusi

            1. Memiliki target

            Tidak dapat dipungkiri bahwa resolusi pada dasarnya adalah daftar target seseorang. Target yang dibuat membantu seseorang menjadi lebih konsisten dalam meraihnya. Selain itu, dengan adanya target membuat seseorang lebih bersemangat dalam bekerja keras.

            2. Menyusun hal-hal penting

            Bagi sekelompok orang, resolusi bukanlah rencana yang dibuat secara main-main. Ada mereka yang menyusunnya secara serius sehingga rencana mereka lebih terorganisir. Hal ini membantu untuk merinci poin-poin penting untuk mencapai tujuan yang lebih besar di masa depan.

            3. Menjadi pribadi yang lebih baik

            Dengan membuat rencana setidaknya satu tahun ke depan, Anda akan menjadi pribadi yang lebih baik. Hal ini karena Anda akan mengejar harapan yang sudah menjadi resolusi Anda satu tahun ke depan.

            Selain itu, Anda akan dipacu oleh motivasi diri yang terus menerus muncul untuk segera meraih harapan Anda. Sehingga secara tidak sadar, Anda akan melupakan kebiasaan-kebiasaan buruk yang menghambat tercapainya impian Anda.

            Contoh Resolusi Tahun Baru

            1. Menjadi pribadi yang ramah dan tidak sombong
            2. Menaikan berat badan sampai 50kg
            3. Belajar skill baru
            4. Memperluas koneksi pertemanan
            5. Bergaya hidup sehat dan hemat

            Resolusi yang kadang terlupakan

            source: pexels.com

            Setiap orang memiliki resolusi yang berbeda tergantung dari tujuannya dalam satu tahun ke depan. Namun, ada beberapa resolusi yang sebagian orang terlewat untuk turut dituliskan. Yuk, kita bahas resolusi yang kadang terlupakan berikut ini:

            Nikmat Tuhan

            Mungkin ini terdengar lumrah dan biasa bagi sebagian orang. Kendati demikian, resolusi ini sudah sepatutnya kita tuliskan setiap tahunnya. 

            Nikmat Tuhan tidak bisa kita raih dengan begitu saja. Maka dari itu, sebaiknya kita harapkan dan jadikan doa agar Tuhan memberi kenikmatan lebih dari tahun sebelumnya.

            Orang-orang suportif

            Tanpa sadar, sebetulnya kita dikelilingi oleh orang-orang yang mendukung kita. Tanpa dukungan mereka, kita tidak bisa menjadi seperti saat ini. Ada baiknya kita tuliskan resolusi untuk tetap dikelilingi orang-orang yang mendukung impian kita.

            Akses internet

            Ya, hampir semua orang membutuhkan akses internet. Kita harus tetap terkoneksi dengan internet untuk mendapatkan informasi yang kita butuhkan. 

            Tanpa internet, koneksi kita dengan orang-orang sekeliling akan terputus. Kita tidak dapat lagi bercengkrama dari jarak yang jauh dengan mereka. Dan akan menyedihkan jika hal ini terjadi.

            Momen pergantian tahun menjadi ajang bagi kita untuk menuliskan resolusi satu tahun kedepan terhebat kita. Tuliskan apapun itu yang kalian inginkan selama itu positif. Buatlah daftar sebanyak-banyaknya harapan kalian.

            Jadi, apa saja resolusi kalian untuk tahun depan? Kalau aku sih yang penting lebih baik dari tahun sebelumnya. Kalau kamu apa? Yuk share resolusi kalian di kolom komentar ya!

            Tahun Baru: Resolusi Yang Kadang Terlupakan Read More »

            Can you imagine a world without social media ?

            Close your eyes and imagine all of your social media disappear. No scrolling through endless feeds of posts, no more comparing yourself to others, no more worrying about likes and comments, and no more FOMO. Would it be great for you ?

            For many of us, social media has involved much deeper in our lives. It connects us to our friends and family, learn the current events, support businesses, and discover our new interests. On the other hand, it has some downsides. Social media can lead to cyberbullying, depression, mental health issues, and being used to spread fake information. So, what would a world without social media be like? Would it be a better place? Or a worse place?


            Social media has become an integral part of our daily lives, coursing through our veins wherever we go. In a world with approximately 8.01 billion people, there are 5.16 billion internet users and 4.76 billion active social media users as of January 2023, as reported by datareportal.com. This data underscores that over 50% of the global population relies on the internet and social media to connect with one another.

            As of 2022, the majority of internet users worldwide fall within the 15-24 age group, followed closely by those aged 25 and above, according to statistics from statista. Surprisingly, the younger demographic constitutes the largest portion of internet users. Even teenagers as young as 15, who are typically in junior high school, are utilizing the internet for various purposes. This is intriguing when considering that individuals over 25 years of age may require social media more for professional interactions. Furthermore, modern-day education institutions increasingly rely on the internet to support learning, encouraging students to utilize online resources for homework and assignments

            In our country, Indonesia, the population stood at approximately 276.4 million as of January 2023, marking a notable increase of 1.8 million or 0.6% between 2022 and 2023. Impressively, the number of internet users in Indonesia reached 212.9 million by January 2023, reflecting a penetration rate of about 77% of the total population. Data from datareportal.com reports that, at the start of 2023, 63.51 million individuals in Indonesia did not use the internet. However, despite this significant digital presence, the number of active social media users in Indonesia reached around 167 million in January 2023. Market share data from Statcounter reveals that Facebook leads with the largest share at 46.76%, followed by YouTube at 42.03% and Twitter at 5.37%. This discrepancy in market share creates an imbalance in the number of active users across different social media platforms in Indonesia.

            However, this observation aligns with my personal opinion, as I must admit that I frequently turn to YouTube to find the information I need. While the average time spent on social media by internet users worldwide in 2022 was approximately 147 minutes according to statista report, the scenario in Indonesia tells a different story. Here, the average time spent was estimated to be higher than the global average, at around 198 minutes on social media. This finding suggests that the typical Indonesian is more engaged with social media compared to the average global user. It’s worth noting that these are averages, and there’s a considerable range within Indonesia, where individuals may spend more than 250 minutes or less than 100 minutes individually.

            This big range in time spent on social media is pretty common in Indonesia because more and more people are getting online each year. Look at the graph below (Image 1) – it shows that folks are spending more time on TikTok compared to other platforms. Interestingly, Facebook saw a drop of 3.9% in how much time people spent on it by January 2023. This leads to a question: What are TikTok users watching to make it just a bit more popular than WhatsApp? If we assume that TikTok videos are about 1 minute long, users are watching a whopping 1,740 videos each month. But even if the videos are around 2 minutes, that’s still 870 videos monthly!

            Image 1: datareportal.com

            Let’s take a look at the growth of TikTok, which stands out with the highest percentage among all social media platforms. I assume that the drop in usage on other social media, except for WhatsApp, has shifted towards TikTok due to its rising popularity. In my view, many people turn to TikTok for entertainment and to kill time, even though Instagram and Facebook offer similar content. TikTok offers short videos covering a wide range of topics, making it a go-to choice. It’s not surprising that TikTok has experienced significant growth, as data from a TikTok report reveals that Indonesia is one of the three fastest countries to embrace vertical videos. Top hashtags show searches related to lifestyle updates, skincare, and shopping in TikTokshop.

            On the other hand, there’s a noteworthy trend where many Indonesian users focus on financial education. This is evidenced by the prevalence of hashtags in the financial industry, such as #SerunyaBelajar, #Crypto, #KelasBisnis, #Investasi, #Saham, and #BelajarInvestasi, among others. This is a positive development, signifying that users trust TikTok as a platform for acquiring the information they need. Moreover, users not only consume content on TikTok but also actively share their experiences through short videos, reinforcing TikTok’s credibility as a platform for sharing experiences.

            Despite TikTok’s remarkable user growth, other social media platforms remain important due to their unique functions and purposes. For instance, we use WhatsApp to stay connected with friends, colleagues, or family remotely, rather than seeking entertainment like on TikTok. According to data from we are social, the primary goal of using social media is to keep in touch with friends and family, accounting for 60.6% of active internet and social media users aged 16 to 64. Consequently, it’s no surprise that WhatsApp use is the highest in Indonesia, surpassing several other social media platforms. The second most common objective is to pass the time, with 58.2% of users seeking easy entertainment through social media, given its accessibility with an internet-connected mobile phone. Further down the list, we find concerns about being left out of social trends and experiencing FOMO, which registers at 28.9%.

            Image 2: datareportal.com

            Bad Impacts on People Live’s

            Have you ever felt that time seems shorter now? Does your cell phone battery run out faster? Do you often feel disappointed with yourself? Or are you currently reading this article with a notification from your social network? Which do you consider further, this article or reading the notification first?


            1. Time Management

            Social media platforms like Facebook, Instagram, and TikTok have become integral parts of our daily lives. These platforms engage us in continuous scrolling for the latest information, often causing us to spend considerable amounts of time without even realizing it. This, in turn, can disrupt our time management, blurring the line between our online and offline lives and affecting our work or study routines. For instance, while trying to focus on our studies, we are frequently tempted to open social media, distracting us from our learning objectives. This tendency highlights the challenge of setting priorities, as we tend to check social media even during work or study sessions. 

            The more time we invest in social media, the more addictive it becomes, making it increasingly challenging to break free. Social media notifications play a significant role in this, tricking our brains into diverting our attention. Personally, I’ve experienced this and seen how it can negatively impact productivity. Ultimately, we may not even realize the extent of our engagement with these platforms or the time we spend on them. If we were to calculate the hours spent, we might be surprised to find that it rivals or even exceeds the time we allocate to sleep.

            2. Increased Screen Time

            Social media functions like a magnet, drawing us in time and time again, much like the attraction of narcotics. It attracts us into extended screen time with the enticing notion that it’s endlessly entertaining, nudging our brain to say, “Hey, it’s so much fun, just dive in whenever you’re bored!” Many of us turn to social media to fill our leisure moments, alleviate boredom, or simply to stay updated on current events. 

            This behavior is largely driven by our curiosity, as social media constantly presents us with an array of captivating content, from posts to videos and more. The ever-fresh content creates a comfortable environment for us to scroll through, sometimes even drawing us away from our real-world activities. The more we engage with it, the less we seem to impose time limits on ourselves, resulting in a distraction from other essential tasks we ought to be prioritizing.

            3. Mental Health Issues

            Social media exerts a substantial influence on our mental well-being, delivering both positive and negative outcomes. On the one hand, it facilitates keeping in touch with friends and family, acquiring new knowledge, and expressing our creative selves. On the other hand, it can be a breeding ground for anxiety, depression, the notorious FOMO (fear of missing out), feelings of isolation, and sleep disturbances. Among these, one of the most striking negative impacts is the incessant comparison to others.

            Social media often presents a curated and filtered reality, inviting us to draw comparisons with the seemingly flawless lives of our online connections. This frequently leads to feelings of inadequacy and a drop in self-esteem. The fear of missing out (FOMO) is another emotional trigger. When we witness others sharing their thrilling experiences, it can generate a sense of exclusion, producing emotions like envy, jealousy, and social detachment. Additionally, social media interaction can breed loneliness and discontent. Despite the multitude of online connections, these interactions often remain superficial, unable to replicate the depth of real-world relationships. Moreover, the constant exposure to positive and manicured content may sow seeds of dissatisfaction with our own lives.

            Lastly, extended social media usage is associated with sleep disturbances, disrupting our rest in various ways. The blue light emitted from screens can meddle with our sleep patterns, while the constant stimuli from social media can make it hard to fall asleep and stay asleep. Sleep deprivation, in turn, carries a host of negative consequences, ranging from depression and memory lapses to diminished academic performance.

            4. Comparing Yourself with Others

            Social media often presents a carefully curated and filtered version of reality, making it effortless to compare ourselves to the seemingly flawless lives of others. This inclination towards comparison can result in feelings of inadequacy, a drop in self-esteem, and the poisonous presence of envy. Moreover, social media platforms frequently employ algorithms that recommend similar content to our past likes and views. This algorithm can construct an echo chamber where we’re primarily exposed to affirming information, distorting our perception of reality and reinforcing our feelings of insufficiency.

            The constant pressure to measure up against others can bring about substantial stress and anxiety. We may feel compelled to perpetually share flawless content to uphold our social media image. This weighty expectation, especially burdensome for young individuals in the process of shaping their self-identity, can end up in a heavy emotional toll. Additionally, the fear of missing out (FOMO) can lead to excessive social media use, further fueling stress and anxiety.

            Social media’s contributions are not limited to just stress; they can also pave the way for sadness and isolation. Despite the vast number of online connections, interactions on social media often remain on the surface, failing to match the depth of real-world relationships. This superficiality, combined with a constant influx of meticulously tailored content, can breed a sense of discontentment with our own lives.

            The perils of endless social media comparisons are significant, giving rise to depression, anxiety, and negative body image. The act of comparing ourselves to others can also foster feelings of envy and dissatisfaction in our own lives. However, these risks tend to be more pronounced when an individual is deeply connected in social media or when a substantial portion of their daily life revolves around it, making it challenging to break free from its grip.

            5. Instant Dopamine Hit

            All social media platforms have the ability to stimulate our brains to release dopamine, a neurotransmitter closely linked with feelings of reward. It’s as if social media were a virtual slot machine or akin to cocaine, perpetually enticing us to keep coming back for more. This phenomenon capitalizes on the brain’s dopamine-driven response, whispering, “Hey, you’ve received a reward! How wonderful! Let’s repeat again!” The unfortunate truth is that this initial burst of happiness is often short-lived, ultimately leaving us with our underlying concerns.

            One key moment when our brains release dopamine is when we succeed in social interactions. This success acts as a motivator, encouraging us to relive these interactions and seek out similar experiences. Social media quantifies these interactions through features like “likes,” comments, and shares. When individuals receive a high number of likes, comments, and shares, it triggers a pleasurable response, tricking our brains into releasing dopamine, thus creating a sensation of happiness. This sensation compels us to return in hopes of recreating the same experience, regardless of the odds.

            It’s important to understand that the happiness derived from social media is often fleeting. Once we disengage from social media, the dopamine rush we experienced wears off, sometimes even leaving us in a worse state than before. This is because social media provides easy access to short-lived moments of happiness. One astonishing revelation that struck me while composing this article is that the impact of social media on our brains is similar to the effects of cocaine. As previously mentioned, social media tricks our brains into generating instant and substantial dopamine levels, simulating a sense of reward.

            What Happen If Social Media Shutdown From Our World

            Shutting down social media would have a profound impact on our society. We would need to find new ways to connect with friends and family, stay informed about current events, and entertain ourselves. Our identities would no longer be shaped by the digital sphere, and our mental landscape and thought processes would inevitably change.


            1. Increase Our Privacy

            In a world without social media, one of the most striking transformations would be the substantial increase in privacy. Social media platforms are prominent for their extensive collection of personal data, but in the absence of these platforms, this wealth of information would no longer be readily available for commercial exploitation. This change would offer individuals a break from constant online surveillance and data tracking.

            As a result, people would experience a resurgence in their sense of digital privacy. They would navigate the online world with a heightened level of anonymity and a firmer grasp on the control of their personal information. The disappearance of social media would usher in an era where privacy takes center stage in the digital landscape, providing a welcome relief for those who are concerned about their online footprint and data security.

            2. We Need More Face-to-Face interaction

            In a world without social media, one of the most remarkable changes would be the resurgence of face-to-face interactions. With online platforms no longer dominating our means of communication, people would naturally gravitate towards in-person meetings and conversations. This shift holds the potential to breathe new life into personal relationships, as it fosters and fortifies genuine, real-world connections.

            The absence of social media may pave the way for a heightened appreciation of direct, human interaction. This, in turn, could lead to the cultivation of deeper bonds, greater empathy, and a richer understanding among individuals. Ultimately, this transformation could result in a society that places a premium on the quality of personal relationships. It represents a departure from the often superficial and fleeting connections that social media can generate, offering a refreshing shift in our social dynamics.

            3. No More Comparing With others

            In a world without social media, a notable advantage would be the reduction of social comparison. Social media platforms frequently fuel a continuous cycle of users comparing their lives, appearances, and accomplishments with others, taking a toll on mental well-being. In the absence of this incessant stream of curated content, people would experience less pressure to conform to unrealistic standards, potentially strengthening their self-esteem.

            The lack of social media could foster a more authentic self-assessment and lessen anxiety related to constantly measuring ourselves against others. In such an environment, individuals could redirect their focus towards personal growth and well-being, freed from the pervasive influence of social comparison. This shift could lead to a more content and mentally healthier society, as people find themselves less preoccupied with unrealistic comparisons and more engaged in their own growth and happiness.

            4. Reduce Screen Time

            In a world without social media, a prominent advantage would be the reduction in screen time. Social media platforms tend to be highly addictive, often holding users captive to their screens for extended periods. With these platforms removed from the equation, individuals would naturally redirect their attention toward other activities and engage more with the tangible world.

            This transformation could bring about a multiple of benefits, ranging from enhanced physical health by reducing sedentary screen time to an improvement in mental well-being through increased outdoor activities, face-to-face interactions, and the pursuit of personal hobbies. A decrease in screen time equates to an increase in opportunities for productive, enriching, and diverse experiences, ultimately contributing to a balanced and healthier lifestyle.

            The absence of social media would encourage a transition from the digital realm to the physical one, allowing people to savor life’s moments and explore new interests. This shift signifies a departure from screen-centric living and a return to more fulfilling, real-world experiences.

            5. Difficulty Connect to Other

            In a world without social media, one noticeable challenge would be the difficulty of connecting with others. Social media platforms have become essential for creating and sustaining relationships, even across long distances. Without these platforms, we’d have to rely on more traditional forms of communication like phone calls, emails, or in-person meetings. It would be harder to find and stay in touch with friends, family, or colleagues, especially if they’re far away.

            However, this shift might also encourage more meaningful and intentional interactions. People would invest time and effort into building connections that could be deeper and more genuine. So, even though it would require more work, the world without social media might lead to relationships that are more profound and authentic.

            6. Limitless Access to Information

            In a world without social media, one noteworthy outcome would be a reduction in our access to information. Social media has become a crucial source for news, knowledge, and updates. Its absence would push us back to traditional sources like newspapers, TV, and websites. This change might slow down how quickly we get the latest news. On the upside, it could encourage more in-depth, fact-checked journalism, which would help reduce the spread of false information. So, in a world without social media, we’d have to balance the loss of instant information with the potential gain in reliable and accurate reporting.

            7. Reduce Social Support

            In a world without social media, a big change would be the reduction in the readily available social support. Social media has become a crucial way for people to connect, seek emotional help, advice, and find a sense of community in difficult times. Without these platforms, it would be harder for individuals to reach out to their online networks for assistance or comfort.

            However, this change might also encourage a resurgence of support from the real world, like family, friends, and local communities. In a social media-free environment, people would need to focus more on building and nurturing face-to-face relationships, leading to a different, potentially deeper and more immediate form of social support.

            The challenge would be to strike a balance between the benefits of online support and the value of personal connections in a world without social media.

            8. Reduce Business Opportunity

            In a world without social media, one significant result would be a decrease in business opportunities. Social media platforms have become essential for businesses to connect with their customers, advertise their products, and establish their brand. Without these platforms, companies would need to find other ways to market and engage with their customers, which could potentially slow down their growth and reach.

            However, this change might also encourage a return to more personal and customer-focused approaches, where the emphasis is on building direct relationships with clients. Finding the right balance between the loss of social media’s wide reach and the potential for deeper, more customized interactions with customers would be a key consideration in a world without these digital platforms.

            If Social Media Can’t be Shut Down, How to Overcome Bad Impacts of Social Media ?

            Completely getting rid of social media isn’t a realistic option, as it’s deeply ingrained in the way we live today. However, it’s important to recognize and deal with the downsides of using it. So, are we ready to tackle and manage the negative effects that social media can have on our lives?


            1. Set Daily Time Limit

            Setting a time limit on your social media use can help you keep track of how much time you spend on these platforms. It’s a good idea to establish a limit based on your personal habits, but I’d recommend not going over one hour. Moreover, scheduling specific times to check your social media can be beneficial in avoiding any negative effects. For example, you can allocate 15 minutes after you’ve finished your work or set a time to log in within two hours of waking up. These practices can lead to a more productive day, whether you’re focused on work or studying, and ensure that your social media usage serves a purpose.

            2. Schedule session for using social media

            Frequently checking your social media without keeping track of the time can harm your productivity. Instead, it’s a good idea to set up a regular schedule for checking your social networks and messages. This way, you can establish clear boundaries between your online interactions and your daily tasks, ensuring a more productive day.

            3. Unfollow accounts that make you feel bad

            Many people struggle to unfollow or disconnect from certain accounts, especially if they have a large number of followers. But ask yourself, can you tolerate interacting with an account that consistently makes you feel down or triggers negative emotions? If the answer is no, it’s a good idea to take action. You can start by unfollowing accounts that evoke feelings of guilt, fear, or inadequacy. Remember, if these accounts don’t resonate with you, and you don’t resonate with them, it’s perfectly fine to let them go. You should focus on living your life in a way that suits you and makes you feel comfortable.

            4. Create before consume

            Many people use social media without actively contributing. Let’s simplify it. When you open your social media, try to create something valuable for yourself and your followers in a positive way. For example, share a creative video about how you manage your day effectively. Also, if you plan to message someone on a social network, send your message before you start scrolling through your interesting feeds. This approach helps ensure you have a reason for using social media. It’s like when you want to find specific information, look for what you need first, and then you can explore further.

            5. Turn off notification

            A little “beep” sound can really mess up your day. It’s pretty silly if your whole day gets thrown off because of these beeps when you’re trying to work or study. Just keep in mind that most of these notifications can wait, so you can check them later. Like I mentioned earlier, setting a specific time to check your social media on your phone regularly can help you avoid these disruptions.


            So guys, social media has become an integral part of our daily lives. It’s challenging to detach from its allure, even if you try to disconnect. The truth is, social media is massively popular worldwide, with nearly everyone jumping on board. As I highlighted with the data at the start of this article, folks have various motivations for using social media. 

            Don’t let the downsides affect our lives. It’s a shame if we end up living our lives just to mimic others on social media. We might lose our unique identity by constantly comparing ourselves and being plagued by FOMO. Here’s the truth: they probably don’t care about you. So, why should you be so concerned about what others think of you on social media? Do you really want to spend your time and energy following their lives, at the cost of your own happiness? Isn’t there a wiser way to approach social media? After all, it’s just a tool. So, what’s your plan for better managing your social media use?

            I’m sorry if there are any mistakes in this article. It’s my own work, and I’ve also included my personal opinions. I’d like to express my gratitude to my friends who took part in a survey that helped me create this article. If you find any interesting topics, please discuss them in the comments below or contact me directly. I look forward to seeing you in my next article, whether it’s on a similar topic or something different. Thank you!

             

            References

            After A Few Minutes Of Social Media, This Happens – Neuroscientist Andrew Huberman

            The Simple Reason Why Social Media is RUINING Your Life | Jordan Peterson

            4 Tips for Setting Boundaries with Social Media

            A Former Facebook VP Says Social Media Is Destroying Society. And He’s Right.

            “Why Are You Running Away From Social Media?” Analysis of the Factors Influencing Social Media Fatigue: An Empirical Data Study Based on Chinese Youth – PMC

            13 Positive Effects of Social Media on Our Society Today

            Is Social Media Ruining Your Life?

            Dopamine, Smartphones & You: A battle for your time – Science in the News

            When People Compare Themselves to Their Social Media Friends, It Can Help or Hurt Their Feelings

            How to Break Out of the Social Media Comparison Trap

            How use of social media and social comparison affect mental health | Nursing Times

            When People Compare Themselves to Their Social Media Friends, It Can Help or Hurt Their Feelings

            Screen time, social media use, and weight-change behaviors: Results from an international sample of adolescents

            Screen Time, Social Media Use, and Adolescent Development

            How Social Media Affects Time Management

            Effect of social media usage on the cultural identity of rural people: a case study of Bamha village, Egypt

            Social Media: Influences and Impacts on Culture | SpringerLink

            Social Media: Influences and Impacts on Culture

            Digital 2023: Indonesia — DataReportal – Global Digital Insights

            Social Media Stats Indonesia

            global daily social media usage Q1 2023, by territory | Statista

            Indonesia: daily time spent using media by activity 2022 | Statista

            Can you imagine a world without social media ? Read More »

            Scroll to Top