Awal tahun 2025, dunia teknologi dikejutkan oleh kemunculan generative AI asal Tiongkok bernama DeepSeek. Kemampuannya yang dinilai setara—bahkan mampu menandingi ChatGPT—membuat beberapa perusahaan teknologi besar di Amerika Serikat mulai kehilangan kepercayaan dan sentimen publik yang optimis dengan AI asal Amerika Serikat.
Berbagai reviewer teknologi membahas performa DeepSeek sebagai pesaing baru dalam ekosistem generative AI. Sebagian dari mereka memberi respons positif terhadap kehadiran AI ini. Namun, sambutan positif tersebut lebih ditujukan pada DeepSeek sebagai alat bantu baru, bukan pada keseluruhan ekosistem AI.
Mengapa demikian? Karena sejauh ini, generative AI belum menimbulkan ancaman serius terhadap manusia dalam waktu dekat.
Ancaman Sebenarnya Justru Datang dari Teknologi AI Lainnya
Berbeda dengan generative AI, teknologi seperti robotika, mesin otomatis (automation machine), dan RPA (robotic process automation) justru dianggap lebih berpotensi menggantikan tenaga manusia. Misalnya saja mesin scan otomatis di kasir swalayan, yang kini mulai banyak digunakan untuk menggantikan pekerjaan kasir manusia.
Bahkan pekerjaan yang lebih kompleks seperti marketing pun mulai tersentuh. Proses seperti pembuatan konten kini bisa dikerjakan dengan bantuan AI agent, membuat alur kerja lebih cepat dan efisien—tapi juga memunculkan kekhawatiran tentang peran manusia di masa depan.
Bagaimana Publik Merespons AI?
Dari hasil analisis sentimen publik pada komentar di tiga video YouTube TED yang membahas AI, didapatkan tiga kelompok respons utama:
42% Publik Optimis terhadap AI
Sebagian besar komentar menunjukkan sikap positif terhadap kehadiran AI. Mereka percaya bahwa AI akan membantu manusia bekerja lebih cepat, lebih efisien, dan lebih cerdas. Banyak yang merasa AI justru menjadi peluang untuk hidup lebih baik, bukan ancaman.
Contohnya, AI digunakan untuk prediksi, otomatisasi kerja, hingga membantu menghasilkan ide dan konten yang lebih optimal. Publik juga melihat AI sebagai alat bantu untuk meningkatkan produktivitas dan potensi penghasilan.
40% Publik Merasa Khawatir
Meski banyak sentimen publik yang optimis, tidak sedikit juga yang mengkhawatirkan kehadiran AI. Kekhawatiran terbesar terletak pada potensi kehilangan pekerjaan, karena semakin banyak tugas yang bisa diambil alih oleh mesin.
Contohnya, pekerjaan kasir yang mulai berkurang karena sudah bisa digantikan oleh sistem self-service. Bahkan sektor retail pun kini mulai menerapkan otomatisasi seperti di dunia manufaktur. Banyak yang bertanya-tanya, “Apakah pekerjaan saya juga akan digantikan AI?”
17% Publik Masih Bersikap Konservatif
Sebagian kecil lainnya memilih untuk menunggu dan melihat. Mereka tidak terlalu optimis, tapi juga belum merasa khawatir. Menurut mereka, masih terlalu dini untuk menyimpulkan bagaimana AI akan berkembang dalam lima tahun ke depan.
Beberapa dari mereka percaya bahwa tidak semua sektor bisa digantikan oleh AI. Contohnya, profesi seperti guru, yang tidak hanya mengandalkan logika tapi juga interaksi emosional, empati, dan intuisi—sesuatu yang belum bisa digantikan oleh mesin.
Kesimpulannya, tidak semua orang memandang AI sebagai keniscayaan yang sepenuhnya positif. Ada yang melihatnya sebagai peluang besar, ada pula yang menilai sebagai ancaman nyata. Dan sebagian lainnya memilih untuk tetap netral—menunggu bukti nyata dari dampak jangka panjangnya.
Sekarang, pertanyaannya:
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu percaya bahwa AI akan menggantikan manusia? Atau justru kamu yakin bahwa manusia dan AI akan berjalan berdampingan?
Yuk, share pandanganmu!
Terima kasih sudah membaca.
Baca Juga: Buat Lo yang Males Nulis: ChatGPT vs DeepSeek, Mana yang Lebih Cocok?
Data and Video Sources:
What Is an AI Anyway? | Mustafa Suleyman | TED
What Will Happen to Marketing in the Age of AI? | Jessica Apotheker | TED
AI Is Dangerous, but Not for the Reasons You Think | Sasha Luccioni | TED