Enam bulan berlalu sejak aku meninggalkan tempat yang dulu aku berpijak. Kota ini, dengan segala hiruk-pikuknya, memaksaku untuk selalu bergerak. Setiap pagi, aku terbangun di tengah kebisingan yang tak pernah memberi ruang untuk bernafas. Setiap menit terasa seperti tali yang mengikat pundakku, menarikku tanpa henti dari satu kesibukan ke kesibukan lainnya.
Hari ini, tepat enam bulan sejak aku beranjak darimu. Enam bulan sejak aku meninggalkan semua kenangan yang pernah kita buat dengan secangkir kopi. Di tengah rutinitas yang melelahkan, ada sesuatu yang berbeda hari ini. Aku merasakan panggilan untuk kembali, untuk berdialog lagi denganmu, meski hanya sebentar.
Aku pun kembali. Bertemu denganmu lagi seakan membangkitkan semua perasaan yang sempat hilang. Dalam sepi sore yang ditemani nada biola dari kejauhan, aku menyampaikan semua isi kepalaku yang selama ini tersimpan rapat. Kau mendengarkan dengan tenang, dan seolah-olah bintang di matamu memberi isyarat bahwa kau juga menantikan hari ini.
Wajahmu tak banyak berubah. Senyummu masih sama, ramah dan menenangkan. Enam bulan tak membuat kita benar-benar berjarak, meski waktu tak lagi mengizinkan kita bersama seperti dulu. Hanya enam jam yang bisa kita habiskan bersama hari ini—dan itu pun terasa singkat. Waktu terus berlalu, dan aku tahu, aku harus segera kembali pergi.
Tepat pukul enam sore, aku berlalu. Dengan berat hati, aku meninggalkanmu di tempat yang penuh kenangan itu, bersama secangkir kopi favoritmu yang tak pernah luput dari kebiasaanmu. Aku pergi ke arah barat, sementara kau ke timur, ke jalan yang berbeda. Inilah bagian yang paling aku benci: perpisahan yang tak terhindarkan.
Meskipun pertemuan kita hanya berlangsung enam jam, dan sudah enam bulan sejak terakhir kali kita bersama, aku tetap merasa beruntung. Setidaknya kau menyediakan waktu untukku, waktu yang begitu berharga di tengah semua kesibukan.
Namun, ini bukan akhir. Aku tahu, suatu saat nanti aku akan kembali. Bukan hanya untuk enam jam, tapi untuk waktu yang lebih lama. Intuisiku mengatakan bahwa aku akan kembali ke tempat di mana kau berdiri, ke tempat di mana kau terus meniti karir dan menjalani hidupmu.
Untuk saat ini, aku harus bersabar, menanti saat itu tiba. Dan sampai waktu itu datang, kenangan ini akan terus hidup dalam ingatanku, seperti lukisan perjalanan yang terus menemani langkah-langkahku di depan.
RELATED POSTS
View all